menu

Perjalanan Ruhani Kaum Sufi

"Hidup manusia diumpamakan sebagai suatu perjalanan (safar),
dan pencari Tuhan sebagai sang pejalan ruhani (salik)”

 
Usaha besar seorang pejalan ruhani adalah memaksakan dirinya serta berjuang keras untuk mencapai pengetahuan sempurna (ma’rifah) tentang Tuhan Yang Meliputi Segala Sesuatu.

Hakikatnya, jiwa setiap manusia berada dalam suatu pengasingan dari Sang Pencipta, atau dengan kata lain, keberadaannya di dunia merupakan periode pembuangan. Obyek yang ditawarkan Irfan atau Sufisme adalah membimbing manusia di dalam pengembaraan jiwanya untuk maju ke depan, secara bertahap, sampai ia dapat mencapai tujuan yang dihasratkannya, kembali Menyatu dengan Sang Wujud.

Posisi atau derajat alami dari setiap manusia adalah kemanusiaannya (nasut), di mana seseorang harus memperhatikan hukum-hukum lahiriyyah (syari’ah). Ini adalah posisi yang paling rendah dari keberadaan ruhani.
Walau demikian, setiap manusia mesti melalui posisi ini dan tetap melaksanakan hukum-hukum syari’at seraya meningkatkan kapasitas spiritualnya untuk menjadi lebih tinggi.
Tanpa tetap melaksanakan syari’at dengan istiqamah (konsisten), manusia takkan dapat melampaui maqam selanjutnya, bahkan ia bisa jatuh ke derajat posisi yang lebih rendah
Posisi atau derajat spiritual ini bervariasi dan berbeda-beda menurut masing-masing tarekat dan guru-guru sufi. Sebagian guru sufi membagi posisi spiritual ini pada beberapa tingkatan seperti :
1. Nasut (syariah), suatu posisi dimana seseorang yang menjalankan disiplin tertentu harus hidup sesuai dengan hukum syari’at dan ibadah-ibadah ritual.
2. Malakut (thariqah), merupakan awal jalan ikhlas (ketulusan dan kemurniaan).
3. Jabarut (ma’rifah), jalan menuju ke pengetahuan sempurna.
4. Lahut (haqiqah), posisi ini merupakan posisi ruhani tertinggi, kadang di sebut sebagai maqam fana, di mana sang pejalan ruhani terserap ke dalam Al-Haqq atau Sang Wujud.
Ketika seseorang memiliki suatu kebutuhan penting untuk pengembangan pemikirannya dalam mengatasi keragu-raguan dan keyakinannya atas realitas Ketuhanan, maka ia disebut sebagai Thalib.
Jika ia memanifestasikan lebih jauh kecenderungannya untuk melakukan penyelidikan tentang realitas tersebut, maka ia disebut sebagai seorang Murid.
Seseorang yang menempatkan dirinya di bawah instruksi spiritual dari seseorang atau beberapa guru ruhani, berarti ia telah memulai perjalanannya dan menjadi seorang Salik, atau “sang pejalan ruhani” yang telah menjadikan seluruh kehidupannya dalam ketaatan sampai akhirnya di mana ia mungkin tiba di maqam Ma’rifatullah atau pengetahuan tentang Tuhan.

- Pada tataran suluk, sang salik didesak untuk “melayani” Tuhan, sebagai langkah pertama ke arah suatu pengetahuan tentang Dia. Ini merupakan langkah pertama dari perjalanannya, dan disebut ‘ubudiyah, penghambaan atau keberhambaan.

- Ketika doa dan ibadah-ibadah sang pejalan ruhani mulai berpengaruh dan kecenderungannya berkembang ke dalam cinta Tuhan, ia dikatakan sudah mencapai langkah yang disebut isyq atau cinta.

- Cinta Ilahi ini, mengusir semua keinginan duniawi dari kalbunyanya, dan mengantarkannya ke langkah berikutnya, yaitu : Zuhud.

- Penempatan dirinya sejak sekarang dengan perenungan dan penyelidikan tentang metafisis alam, sifat, dan perbuatan Tuhan, akan mengantarkannya ke gerbang Ma’rifat.

- Perenungan yang tekun ini akan mengejutkan teori metafisis bagi suatu pemikiran orang-orang Timur, dan tidak jarang menghasilkan suatu posisi atau keadaan dalam kegembiraan mental. Suatu nuansa kegembiraan yang sangat, suatu illuminasi langsung [direct illumination] dari hati terhadap Tuhan. Langkah berikutnya adalah wajd, atau “perasaan yang sedemikian gembira.”

- Pada tahapan ini, ia diharapkan akan menerima suatu pembukaan rahasia [futuh atau kasyf] yaitu wahy yang hanya ditujukan kepada para nabi, sedangkan untuk selain nabi disebut ilham atau inspirasi, yang barangkali bisa menjadi istilah yang lebih sesuai dalam konteks ini. Tahapan ini bisa disebut tahapan haqiqah.

- Kemudian dia maju ke maqam wasl atau “Menyatu” dengan Tuhan.

- Setelah ini, sang pejalan ruhani tidak bisa naik lebih tinggi lagi, tetapi dia bisa meneruskan kebiasaannya dengan “penolakan diri” dan bertafakkur (merenung) sampai ia menemui “kematian”-nya, yang disebut sebagai fana, atau terserap total ke dalam Tuhan.

0 komentar:

Posting Komentar